Archive for September 17, 2008

YUK MENULIS OPINI

Artikel ini diadopsi dari penulislepas.com:

Bagaimana menulis tulisan bergenre opini? Banyak pertanyaan demikian yang hinggap kepada kita. Satu kunci praktis, cermati logika dan diksi alias pilihan kata yang kita gunakan. Untuk meyakinkan orang, jenis tulisan opini mengandalkan logika melalui diksi yang efektif. Akan lebih baik jika kita belajar langsung dengan praktek dan contoh kasus.

Nah, berikut ada dua contoh tulisan opini yang sampai kepada saya. Kebetulan di salah satu organisasi kepenulisan, saya diamanahi menjadi mentor menulis. Dan dua penulis muda dan berbakat ini termasuk salah satu dalam kelompok mentoring kepenulisan saya. Dalam bentuk aslinya, kedua tulisan di bawah ditulis tangan dengan minimal 5 paragraf dan hanya diberi waktu maksimal 30 menit untuk penyelesaian. Cara menulis cepat (fast writing) cukup berguna untuk mengalirkan ide dengan cepat–demi mengatasi kebekuan dan kelambanan berpikir–sebelum akhirnya kita menghasilkan tulisan yang padu dan lengkap.

Tulisan 1: “Matinya Sebuah Media”

“Pembohong dusta!” bentak seorang politikus ternama bangsa ini. Kita pun sering menemukan “kebohongan” di atas lembar kertas media. Kadangkala bahkan sering media dijadikan alat efektif menyebarluaskan “virus” kebohongan. Media apapun itu tak lepas dari penyakit ini.

Media elektronik, media cetak dan media komunikasi lainnya patutlah kita kritisi. Televisi misalnya. Betapa banyak “virus” kebohongan memasuki media ini. Kita sudah sering menyaksikan tayangan sinetron yang membohongi pemirsa.

Ambil contoh, sinetron yang ditayangkan oleh salah satu stasiun TV negeri ini. Sinetron itu menceritakan seorang cewek yang menyamar menjadi lelaki. Pemeran utama, sang cewek itu, hidup sekamar kos dengan cowok. Anehnya, cowok itu tidak mampu mengidentifikasi penyamaran sang cewek.

Secara nalar, hal itu tak mungkin terjadi. Seorang lelaki dan perempuan perbedaannya jelas. Tidak ada “gray area” di situ. Keduanya memiliki perbedaan yang terang benderang.

Saya pikir, semua media, media apapun itu, nalar, kejujuran adalah hal utama. Tidak perlu membohongi diri sendiri atau membohongi publik. Tidak perlu!

Kalau saja media bangsa ini bersikukuh menyebarluaskan “virus” kebohongan, tidak menutup kemungkinan media bangsa ini segera wafat, berguguran, dan hilang tanpa bekas.

Komentar:

Secara teknis, tulisan yang bergenre opini ini OK. Meski ada beberapa catatan:

1. Perhatikan kalimat pembuka : “Pembohong dusta!” bentak seorang politikus ternama bangsa ini. Pertanyaan: Kenapa ia memaki? Dalam konteks apa ia marah?Tentu lebih pas jika disebutkan dalam kasus apa sang pejabat memaki. Misal, dalam kasus dugaan korupsinya yang disebarluaskan media. Jadi pembaca dapat melihat relevansi antara kalimat pembuka dan tema besar tulisan. Get the reader connected at first chance! Itu prinsipnya.

2. Berkali-kali kata “virus kebohongan” diberi tanda kutip. Memang kata ini dalam konteks kebohongan media bermakna konotatif, bukan makna sebenarnya. Tetapi lazimnya, termasuk dalam jurnalistik, jika di bagian awal kata tersebut sudah diberi tanda kutip maka di bagian selanjutnya tidak diperlukan lagi tanda kutip tersebut. Contoh: Betapa banyak “virus” kebohongan memasuki media ini (paragraf 1). Maka selanjutnya seperti di paragraf 6 kata “virus” harus ditulis tanpa tanda kutip lagi sbb: “Kalau saja media bangsa ini bersikukuh menyebarluaskan virus kebohongan…”

3. Hindari ballast (kata yang mubazir atau berlebihan). Pramoedya Ananta Toer berpesan bahwa kata yang baik semestinya “berdentang”.Maksudnya, efektif dan “bunyi”, tidak berlebihan. Perhatikan kalimat akhir: “…tidak menutup kemungkinan media bangsa ini segera wafat, berguguran, dan hilang tanpa bekas.” Cukuplah “…berguguran dan hilang tanpa bekas.” Jika ingin lebih “bunyi”, pakai saja kata “mati” ketimbang “wafat” yang lebih menyiratkan kondisi kematian yang lebih mengenaskan seperti kematian hewan atau tumbuhan seperti “…mati dan hilang tanpa bekas.”

Untuk isi tulisan, idenya menarik tentang premis matinya sebuah media karena soal kebohongan. Sayang argumen lemah dan kurang dieksplorasi. Perhatikan isi paragraf 1. Semestinya jika dieksplorasi lebih di mana penulis mencoba berpikir radikal (mendasar dan bebas) dan penuh rasa ingin tahu mestinya penulis harus mengulas mengapa media terdorong menyebarkan virus kebohongan. Faktor dominasi modal asingkah? Idelogiskah?Atau apa? Alhasil, jika demikian, opini menjadi lebih balance (seimbang) dan tidak sekadar teriakan penghakiman sepihak.

Catatan lain, lihat paragraf 3, 4 dan 5, penulis menyoal betapa mustahilnya sang cowok tidak mengetahui bahwa teman sekamarnya berjenis kelamin lain. Yang aneh, setelah pada paragraf 3 dan 4 menyoal “kemustahilan” tersebut—yang sebetulnya debatable karena bisa jadi ada teknik penyamaran yang canggih—penulis mengaitkan dengan prinsip kejujuran media. Duh! Ini bagaikan membandingkan apel dengan duren.

Marilah kita berpikir lateral seperti anjuran Edward D. Bono. Sinetron pada hakikatnya, seperti karya fiksi yang lain, bertujuan “membohongi” dalam pengertian positif. Jadi jangan dikontradiksikan dengan peringatan Qur’an soal para penyair yang lancung dalam Surah Asy-Syu’ara. Nah, contoh yang dikemukakan penulis, dengan mengambil contoh sinetron tersebut, bukanlah soal kebohongan tetapi lebih mengenai ketidakprofesionalan penggarapan cerita atau penyutradaraan. Di samping itu, argumen soal kemustahilan tsb seperti saya sebutkan di awal rawan menjadi bahan perdebatan (debatable) yang malah mengurangi nilai tulisan ini. Sebaiknya pungut argumen yang kuat dan logis dan bebas dalam tulisan bergenre opini ini.

Tulisan 2: “Sebuah Politik Media”

Bagaimana dengan suatu sebutan kita di sebut sebagai “penulis”? Kita berbangga, bersukacita, kita akan di kenal. minimal kita akan menjadi bahan pembicaraan di suatu media. Kita tentu akan menjadi lebih dari pada yang lain. Kita lebih bisa mengeksplorasi diri kita.

-Begitu banyak tempat kita untuk menulis, Ada media cetak, media audiovisual, media saja. Dan tentu pilihan kita untuk menjadi aktor mengisi segala media itu. Jadi begitu banyak media yang akan menjadi tempat kita untuk menumpahkan karya kita.

-Tak lelah untuk mengirim karya harus menjadi tonggak semangat bagi kita. tapi kita lihat dulu bagaimana sebuah media ini, banyak sekali faktor yang membuat suatu media mau menampangkan karya kita untuk dinikmati konsumennya.

-Sebuah media adalah sebuah corporate yang mempunyai banyak sekali kaki untuk membuat suatu media itu bisa tetap eksis dan tentunya satu ideologi yang sama antara kaki penopang suatu media adalah sesuatu yang tidak bisa di ganggu gugat oleh kita seorang penulis, kalaupun yang kita tawarkan tidak sesuai dengan idiologi sebuah media ya kita tidak usah berkecil hati banyak sekali media yang mau menerima karya kita, karena banyak sekali media yang mengusung idiologi yang berbeda.

Bukankah begitu enaknya kita hidup di era ini. Begitu media yang dapat kita nikmati dan begitu juga banyak media yang akan menjadi alat kita untuk tempat eksplorasi diri, dan yang tak kalah penting dengan media kita dapat memberikan satu ibrah bagi sesama.

Dan inilah kesempatan kita untuk bisa mendobrak media agar mau menampangkan karya kita tanpa lelah kita berkarya karena kita menjadi tuan bagi diri kita sendiri.

Komentar:

Kesan pertama saya membaca tulisan ini: lelah! Banyak pergantian antarkalimat yang tidak ditandai dengan tanda titik. Demikian juga tanda koma yang bertebaran di mana-mana. Padahal tanda koma dalam tulisan tidaklah mesti sama seperti jeda nafas kita jika mengucapkan kalimat secara lisan. Faktor pemaragrafan yang tak jelas juga cukup menyiksa. Tolong gunakan pemaragrafan menjorok ke dalam atau berjarak satu ketukan di bawah.Selain itu, penulis juga harus lebih cermat membedakan ragam bahasa lisan atau tulisan. Sekali lagi, ini bukan bukan masalah benar atau salah tetapi lebih pada kepantasan, cocok atau tidak dengan gaya dan sifat tulisan.

Cermati juga pelafalan kata asing seperti ideology yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi “ideologi” bukan “idiologi”. Itu mengingatkan saya pada ejaan buku-buku tahun 50-an.

Soal judul, “Sebuah Politik Media”, agak ambigu atau mendua. Maksudnya apakah berarti ada sebuah (kebijakan) politik yang ditempuh media? Ternyata jika terus dibaca hingga akhir tidak demikian maksudnya.Tulisan ini lebih cocok diberi judul “Politik Media”. Sementara diksi atau pilihan kata, seperti judul, banyak yang tidak “bunyi”. Sebaiknya penulis banyak-banyak membaca buku atau koran agar wawasan atau kosakatanya bertambah. Contoh, seperti di paragraf 3, lebih cocok menggunakan kata “memampang” bukan “menampangkan”. “Menampangkan” berasal dari kata “tampang” yang lebih cocok untuk citra persona atau orang. Tidak dapat untuk menggantikan istilah “menerbitkan” atau “mempublikasikan”. Nah, banyak membaca menjaga agar logika tulisan tidak semrawut seperti dalam tulisan ini. Konon orang yang banyak menulis cenderung memiliki pola pikir yang teratur. Sayangnya tulisan yang bagus ini tidak ditopang dengan logika yang teratur dan kuat. Alhasil, menjadi lemahlah ia.

Namun, saya suka idenya. Tulisan ini ibarat intan yang tersaput lumpur. Ia hanya perlu digosok keras-keras agar mengkilat dan keluar cahayanya. Maka penulis lebih baik menggosok “intan” tersebut dengan banyak membaca buku-buku fiksi atau teknik menulis sehingga diksi lebih efektif dan teknik lebih OK.

Bagaimana?

Semoga ada manfaat yang dapat diambil. Keep writing!

Jakarta, 29 November 2007

http://www.nursalam.multiply.com

Leave a comment »